Senin, 03 Maret 2014

Kepada Inisial (...) Aku Pergi

Sayang, aku pergi.
Sejak kealpaanmu di hidupku, sungguh, aku tak pernah merasa benar-benar hidup lagi.
Kematian, bagiku, hanyalah perihal menyudahi apa yang memang seharusnya ditamatkan;
kesedihan, salah satunya.
Jauh sebelum kehilanganmu menjadi satu-satunya hal yang menggentarkanku, aku pernah berujar tentang takutnya jatuh cinta…
tapi nampaknya kau sungguh tak mengerti mengapa cinta menjadi suatu hal yang pantas kutakutkan untuk terjatuh di dalamnya, lalu kau sibuk melenakan dunia kita dengan gaduh asmara.
Mataku buta. Telingaku tuli. Mulutku bisu.
; aku -sekali lagi- jatuh mencintaimu
Pada akhirnya semua hal adalah tentang dari yang tiada menjadi ada untuk kemudian kembali tiada, betul?
Untuk itulah mungkin kau dihadirkan ke hidupku;
mengenali kembali ketiadaan.
Aku tak menangis, sayang. Tidak lagi. Sebab tadi sudah kubilang bahwa aku pergi, telah pergi.
Darimu, dari punggungmu.
Seperti kau yang telah lebih dulu beranjak dari kita, aku pamit dari kehilangan.
Bukan karena aku tak mencintaimu lagi, tapi karena aku menyadari bahwa kita adalah sepasang rasa sakit yang dijejalkan ke jantung seorang bayi tanpa dosa — bahkan belum bernama.
Aku tak mampu lagi kembali dalam kebohongan, kebencian, ketakutan, kesekarahan, kecemasan, kesakitan, dan doa-doa panjang tak terkatakan oleh akal sehat.
Maka, Sayang,
Kesedihan ini kulipat rapi dalam lacimu.
Selamat tinggal, –semoga nasib tak lagi bergurau mempertemukan kita– selamanya.
*
Jakarta, separuh tahun kepergianmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar